Skip to main content

Menggilir Pantai Malang Selatan (Part 1)

Pantai Balekambang
Saya suka sekali pantai. Setiap ketemu pantai saya pasti teriak-teriak kegirangan. Dari dulu saya selalu bermimpi untuk mengunjungi pantai yang indah, berjalan diatas pasir dan makan ikan bakar dipinggir pantai. Alhmdulillah, mimpi tersebut benar-benar terlaksana. Saya dan suami menyusun rencana untuk "menggilir" beberapa pantai Malang Selatan. Setelah rencana fix, kami berangkat dari Batu hari sabtu, 23 Desember 2017 pukul 11.30 menggunakan sepeda motor. Karena saat itu weekend, jalan agak ramai tapi tidak sampai macet. Pantai pertama yang jadi tujuan kami adalah Pantai Balekambang yang berjarak 75km dari kota Batu. Berbekal G-map dan ingatan suami tentang jalan menuju Balekambang, akhirnya kami sampai di Pantai tersebut +/- pukul 13.30 . Di loket kami diwajibkan membayar Rp. 16.000/orang. Dengan rincian Rp. 7.500 untuk tiket masuk dari pemerintah kabupaten Malang, Rp. 7.500 untuk tiket masuk dari Perhutani dan Rp. 1.000 untuk sumbangan PMI. Plus karcis parkir Rp. 5.000. Jadi total yang kami keluarkan di loket adalah Rp. 37.000. Setelah membayar tiket, kami langsung menuju pantai dengan melewati hutan. Ketika hampir sampai di pantai, saya "dihadang" dan di arahkan oleh beberapa laki-laki yang terlihat seperti penduduk lokal+tukang parkir, untuk memarkir sepeda kami di area tersebut. Mereka memang menutup jalan dengan portal jadi mau tidak mau, kami membelokkan motor ke area mereka. Saya dan suami nurut saja, karena kami mengira memang begitulah prosedurnya. Sesampainya di parkiran, kami kembali diminta uang karcis Rp. 5.000. Kami kaget donk ya karena setahu kami, saat di loket, kami sudah membayar uang parkir. Namun para "tukang parkir" ini tetap kekeuh dan berdalih bahwa yang kami bayar di loket tersebut berbeda dengan uang parkir yang akan kami bayar di area tersebut. Okelah, biar cepat selesei nih urusan, akhirnya kami membayar uang parkir mereka. Setelah sholat dan istirahat sejenak, kami langsung menuju bibir pantai untuk melihat "Tanah Lot" nya Malang. Namun sampai di pinggir pantai, saya sama sekali tidak melihat ada jembatan atau pulau yang berpura. Kami terus menyusuri pantai demi mencari ikon pantai Balekambang tersebut. Setelah lelah mencari, akhirnya kami bertanya ke tukang cilok (nanya doank, gak beli hihi), dimana pulau tersebut berada. Tukang cilok menunjuk ke arah barat dan mengatakan bahwa pulau tersebut ada di paling ujung. Kami mencoba berjalan kaki mengikuti petunjung kang cilok, tapi ternyata ketika kang cilok tersebut bilang "paling ujung", dia serius. Belum sampai setengah perjalanan, saya sudah ngos-ngosan dan merengek untuk naik motor saja. Akhirnya kami mengambil motor, dan menuju pantai yang kami maksud, setelah portal jalan dibukakan oleh "tukang parkir" yang tadi. Sesampainya di area tersebut, kami kembali "dihadang" oleh tukang-tukang parkir dan dimintai uang parkir Rp. 5.000 (again). Jadi total uang yang kami keluarkan untuk tiket dan parkir saya Rp. 47.000. OMG hellooo, sebelnya saya waktu itu, tapi yaudahlah ya. 
Pantai Balekambang
Setelah memarkir sepeda, saya bergegas menuju pulau dengan pura seperti yang saya liat di internet. Puas berfoto, kami beristirahat di salah satu warung dan memesan es degan. Setelah itu, kami langsung cuzz menuju pantai selanjutnya, yaitu pantai Batu Bengkung. Setelah keluar dari Balekambang, kita hanya perlu belok kanan dan mengikuti petunjuk yang bertebaran di jalan.
Perjalanan dari Balekampang ke Batu Bengkung hanya sekitar 30 menit. Sampai di pintu gerbang Batu Bengkung, kami membayar tiket masuk. Hanya Rp. 10.000/orang, plus karcis parkir Rp. 10.000 jadi total hanya Rp. 30.000. Dengan uang segitu, kita juga sudah bisa mendirikan tenda dan camping di area pantai, tanpa biaya tambahan apapun (ini ceritanya masih sebel sama yang di pabtai sebelumnya). Memasuki area pantai Batu Bengkung, saya kembali dibuat kaget. Tapi kali ini kaget yang menyenangkan. Ternyata di area ini bukan hanya ada satu pantai, melainkan empat pantai cantik sekaligus. Pantai Ngopet, pantai Weden Klopo, pantai Batu Bengkung dan pantai Batu Lepek. Tiap pantai memiliki karakteristik yang berbeda. Ngopet dan Weden Klopo memiliki bibir pantai yang berpasir putih. 
Pantai Ngopet
I'm fallin' in love at first sight sama pantai Ngopet. Pasir putih yang lembut, air yang tenang, pemandangan yang indah, pkoknya suka sekali. Batu Bengkung dan Batu Lepek memiliki ombak yang ganas dan karang sepanjang bibir pantainya.
Pantai Batu Lepek
Kedua pantai ini sama-sama memiliki bukit yang bisa dinaiki pengunjung untuk melihat sunrise maupun sunset. Pukul 16.00 kami, lebih tepatnya, suami saya mendirikan tenda. Setelah itu kami berjalan-jalan di pinggir pantai. Ada banyak juga yang mendirikan tenda seperti kami. Ada yang bersama suami (itu saya hahaha), ada pula yang bersama teman-teman, bahkan ada yang bersama keluarga besar, kakek, nenek, bapak, ibu, anak dan cucu. Seru sekali.
Fasilitas di pantai ini cukup lengkap, warung makan bertebaran yang dilengkapi dengan musholla dan kamar mandi. Setelah sholat magrib, kami makan malam di salah satu warung. Awalnya kami ingin memesan ikan bakar, tapi ternyata ikannya tinggal 1, ikan tuna seberat 2kg.
Akhirnya suami saya memesan nasi lalapan ayam dan saya memesan nasi cumi masak pedas. Rasa cumi masak pedasnya juaraa. Enak banget. Cumimya dimasak dengan sempurna, gak alot, bumbunya pas. Duh saya jadi ngiler pengen lagi. Harganya ramah di kantong. Totalnya Rp. 35.000 saja. Hanya saja area ini kurang penerangan, hanya beberapa warung yang memiliki penerangan baik, lainnya remang-remang. Kita harus hati-hati dan menggunakan penerangan tambahan untuk berjalan di malam hari, salah-salah kaki kita bisa kepentok batu terus jatuh guling-guling, kan gak lucu. Setelah sholat isya', kami merebus air dan menyeduh kopi sambil memandang langit yang saat itu untungnya sedang cerah. Banyak sekali bintang yang terlihat. Saya kesulitan untuk tidur karena takut saat mendengar debur ombak yang seperti sedang mengamuk, anginnya juga gak santai. Rasanya seperti tenda kami ingin dibawa kemana angin bertiup. 
Keesokan paginya, mulai banyak pengunjung lain berdatangan dan pantai terasa lebih sesak dari kemarin. Bahkan ada rombongan yang datang pukul 03.00 dini hari. Setelah sholat subuh, saya dan suami naik ke bukit Batu Bengkung. Jalannya terjal, saya yang belum pernah naik gunung, kewalahan. Beberapa kali saya minta berhenti untuk istirahat atau minta ditarik agar kuat naik. Ini karena medannya susah ya, bukan karena saya gendut hahhahaa.
Pantai Batu Bengkung
Pemandangan dari atas bukit sangat indah. Walaupun harus saya akui, saya sedikit takut. Pas dibawah saya itu laut dengan ombak ganas yang bisa menelan siapa saja. Setelah turun dari bukit, kami memasak sarapan. Sarapan yang enak, praktis dan gampang dibuat. Apalagi akalu bukan, mie instan. Sarapan selesai, kami bergantian mandi, lalu membereskan barang-barang kemudian membongkar tenda. Kami siap untuk menjelajahi pantai lainnya.
See you next part.

Comments

Popular posts from this blog

[Resensi] Jemima J (Jane Green) : Langsing bukan segala-galanya.

Setiap wanita itu cantik, terlepas dari ukuran baju, berat badan, tinggi badan, warna kulit dan sebagainya. Hanya saja terkadang lingkungan yang memasang kriteria khusus untuk dipanggil cantik, seperti harus langsing, mulus, rambut panjang dan lurus. Sehingga banyak wanita berlomba untuk menjadi langsing demi bisa masuk ke dalam kotak yang dilabeli "CANTIK" oleh sekitarnya. Maka akan ada wanita-wanita yang menjadi minder, tidak percaya diri karena tubuh mereka lebih berisi. Salah satunya adalah JJ alias Jemima Jones, yang ada dalam novel chicklit karangan Jane Green. Jemima Jones adalah wanita berumur 27 tahun yang bekerja sebagai jurnalis di Kilburn Herald, salah satu koran lokal di Inggris. Jemima Jones atau yang selanjutnya akan kita panggil JJ memiliki berat badan sekitar 120 kg. Hal ini yang membuatnya hampir setiap hari selalu bertekad untuk diet namun selalu kalah oleh sebatang cokelat atau sebungkus sandwich bacon favoritnya. JJ selalu berkhayal memiliki ba...

[Resensi] Jendela-Jendela (Fira Basuki): Aku, Kamu dan Jendela

Menjalani kehidupan rumah tangga memang tidak selalu mudah dan indah seperti di dongeng-dongeng. Ada kalanya kita merasa sangat bahagia, ada pula saat dimana kita merasa lelah dan tidak berdaya menghadapi persoalan hidup yang tak kunjung usai. Namun kita harus terus berusaha, berdoa kepada Tuhan agar semua masalah dapt terselesaikan dengan baik. Mungkin hal ini yang ingin diungkapkan Fira Basuki dalam bukunya yang berjudul "Jendela-Jendela". Buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2001 ini memiliki 154 halaman. Ini juga adalah buku pertama yang akan saya resensi. Deg-deg an sih. Karena basically saya bukan orang sastra ataupun paham tentang hal-hal seperti ini. Namun saya ingin memberikan resensi dari sudut pandang saya sebagai orang awam yang (berusaha) suka dan rajin membaca. Biar agak pinter dikit hihi. Oke let's start. June Larasati Subagio adalah wanita Indonesia yang menikah dengan lelaki Tibet bernama Jigme Tshering di tahun 1997 . Jigme adalah lelaki ya...

Jealous

Katanya cemburu itu tanda cinta, tanda sayang tapi kadang cemburu juga bisa bikin orang yang kita cintai merasa tertekan, terkekang dan tidak nyaman. Dulu saya adalah wanita pencemburu, sangat pencemburu, sampai sekarang sih sebenarnya tapi sekarang saya sudah mulai bisa mengontrolnya dengan baik. Sebelum menikah dengan suami, kami menjalani hubungan jarak jauh yang membuat kami jarang sekali bertemu. Paling cepat mungkin sebulan sekali. Hal ini memaksa saya untuk belajar mengontrol cemburu. Saya sering sekali overthinking. Entahlah wanita lain mengalami juga atau tidak tapi rasanya sangat tidak nyaman, tidak tenang dan khawatir saat tahu suami berinteraksi dengan wanita lain. Padahal kan itu wajar. Walaupun berpacaran atau sudah menikah kan kita tidak lantas memutus hubungan dengan semua lawan jenis. Semua hal ini saya pendam sendiri yang akhirnya membuat saya galau, sedih, muring-muring ndak jelas, selalu marah-marah hingga membuat orang disekitar juga ikutan emosi. Lalu ...