Menyusui gie merupakan kegiatan wajib saya setiap saat. Walaupun awalnya saya sempat kesulitan karena puting lecet, payudara bengkak dsb, tetapi akhirnya saya sangat menikmati saat-saat menyusui gie. Rasanya sangat bahagia menyusui sambil memeluk gie. Merasa menjadi manusia yang sangat dibutuhkan. Saat gie lapar, haus, capek bahkan tidak nyaman, pasti yang dicari ibuk.
Saat umur gie 1,5 tahun, saya mulai memikirkan cara menyapih. Sejujurnya saya belum ikhlas untuk "berpisah" dari gie. Membayangkan saya sudah tidak bisa memeluknya jika dia ingin tidur saja, kadang membuat saya mewek. Saya takut gie tidak mau dekat saya lagi kalau dia sudah disapih. Banyak saran dari para tetua dengan menggunakan pait-paitan. Mengoleskan jamu pahit bahkan obat di puting payudara agar anak tidak mau menyusu lagi karena dia pikir rasa susunya jadi pahit. Atau dengan memplester/ mewarnai puting dengan lipstik agar terlihat menyeramkan dan anak tidak mau menyusu. Namun ada pula beberapa teman yang berhasil menerapkan Weaning With Love (WWL)/ menyapih dengan cinta.
Metode ini tidak menggunakan pait-paitan atau plester untuk membuat anak berhenti menyusu. Dengan sering memberi sounding atau pengertian kepada anak bahwa dia sudah besar, sudah waktunya berhenti menyusu. Berkali-kali sampai anak mengerti dan berhenti menyusu dengan sendiri. Tidak menawarkan ataupun menolak saat anak ingin menyusu. Saya memutuskan untuk menggunakan metode ini agar saya dan gie sama-sama ikhlas. Sejak saat itu, saya dan suami mulai memberi sounding kepada gie berupa kalimat-kalimat seperti "Gie sudah besar lho, stop ya mimik ibuk, berhenti ya mimik ibuk. Nanti gie mimik susu banana ya". Namun sepertinya gie nggak mudheng dan malah makin doyan menyusu. Saya tambah cemilannya, dengan harapan, frekuensi menyusu gie bisa berkurang. Tapi gie tetep doyan seperti biasa.
Pada awal oktober lalu, saya berdiskusi dengan seorang teman tentang permasalahan menyapih saya yang tak kunjung berhasil mengurangi frekuensi menyusu gie. Teman saya mengatakan bahwa yang harus disiapkan pertama kali sebelum menyapih, bukan si anak melainkan ibunya. Ibu harus wajib kudu ikhlas. Ikhlas menyapih, ikhlas anaknya tidak menyusu lagi, ikhlas dan sedikit tega. Saya langsung sadar bahwa SAYA yang bermasalah. Saya masih amat sangat belum ikhlas dan memberi sounding pada gie dengan setengah hati. Pun kata-kata yang saya pakai untuk memberi sounding pada gie, tidak dia mengerti karena memang dia belum tahu atau familiar dengan kata- kata tersebut. Kemudian saya mulai memantapkan hati, mencoba untuk mengikhlaskan agar semua prosesnya bisa lebih gampang. Saya juga merubah kata-kata sounding menjadi kata-kata yang sudah gie mengerti.
Suami sangat membantu untuk menyukseskan WWL ini. Beliau sering membantu memberi sounding dan mengajak gie bermain sampai lupa menyusu dan mengantuk, lalu menemani gie tidur. Di malam hari, beliau pasti yang bangun duluan kalau gie terbangun dan merengek. Langsung menggendong gie dan memberikan botol air. Saya amat sangat terbantu.
Yang membuat saya takjub adalah bagaimana cara gie mengerti. Pada hari pertama, dia langsung tidak minta menyusu sama sekali di siang hari dan hanya menyusu sekali di tengah malamnya. Padahal niat saya hanya ingin mengurangi frekuensi menyusunya secara perlahan sampai nantinya dia berhenti sendiri. Begitu saya bilang "mimik ibuk habis" dia langsung mengerti dan tidak minta. Saya yang kebingungan karena gie langsung tidak minta menyusu, sempat beberapa kali ingin menawari tapi saya tahan. Di malam hari pun, saya dibantu suami. Ketika gie terbangun, suami yang langsung menggendong dan memberikan botol air, sehingga gie tidak minta menyusu pada saya. Di hari keduapun, gie hanya menyusu sekali di siang hari. Di hari ketiga dan seterusnya, dia sama sekali tidak menyusu. SAMA SEKALI!. Saya sampai speechless, bagaimana bisa anak yang biasanya menyusu sampai lebih dari 10x sehari, bisa langsung merosot jadi 1x sehari dan bahkan berhenti total. Walau saya dan suami sempat kaget tetapi kami sangat bahagia dan bangga, gie bisa seperti itu.
Namun penyapihan yang kilat itu bukan tanpa resiko. Gie berhenti menyusu secara tiba-tiba membuat payudara saya kaget sehingga mengeras, bengkak dan nyeri karena tidak disusukan. Puncaknya di hari kedua. Rasanya seperti mau meledak, apalagi kalau tidak sengaja dibentur gie yang sedang main, rasanya saya mau nangis jerit-jerit. Beberapa teman menyarankan untuk mengompres dengan air dingin dan kol. Jadi setiap 15 menit sekali saya ganti kompres. Namun karena sudah tidak kuat, akhirnya saya pompa sedikiiit, supaya agak lega. Lalu lanjut kompres dingin lagi. "kenapa gak disusukan ke gie aja daripada dipompa trus dibuang? Kan sayang". Masalahnya, gie mulai terbiasa tidak menyusu, tidak mungkin tiba-tiba saya tawarin lagi. Bisa-bisa goyah nanti pendirian ibu-anak ini. Lagipula saya tidak bisa menjamin gie akan menyusu sedikit. Pasti gie akan menyusu sampai payudara kosong. Hal ini bisa merangsang payudara untuk memproduksi asi lebih banyak lagi. Jadi lebih baik saya pompa sedikit.
Hari ini adalah hari ke 7 penyapihan gie. Dia sudah biasa tanpa menyusu dan payudara saya sudah tidak bengkak dan nyeri lagi. Yang lebih membahagiakan adalah, gie masih suka tidur di pelukan saya. Kalau mau tidur, dia pasti ndusel-ndusel ke lengen saya seperti saat menyusu. Hal yang saya takutkan tidak terjadi. Saya tetap bisa memeluk gie saat tidur walaupun dia sudah tidak menyusu.
Untuk gie, terimakasih selalu menjadi anak yang pengertian. Ibuk tahu pasti gak gampang buat gie untuk mengerti, tapi gie gak pernah rewel atau kesel sama ayah ibuk. Untuk ayah, terimakasih selalu mendukung dan membantu ibuk. Bantuan ayah amat sangat meringankan beban ibuk. Keberhasilan WWL ini bukan hanya milik ibuk, ini keberhasilan kita bersama. Gie, ayah dan ibuk sudah bekerjasama dengan sangat baik untuk melewati fase ini. Terimakasih. Ibuk sayang kalian berdua.
Comments
Post a Comment