Skip to main content

Kulineran Jogja [part 3]


Ini part terakhir dari rangkaian tulisan tentang jogja. Dan yang dibahas adalaaaahhh makanaaaann *tratakdumceess. Yup, selain tempat wisata, jogja juga terkenal dengan buanyak kuliner legendaris. Karena saya dan suami sama-sama doyan kuliner, akhirnya kami mengunjungi beberapa tempat makan tersebut.

1. The House of Raminten.
Rumah makan ini terkenal karena pemiliknya sangat ikonik. Sosok perempuan memakai kebaya dan kain jarik, bersanggul serta ber-tahi lalat di atas bibir kanan bernama Raminten. Namun pemilik aslinya bukan seorang wanita melainkan seorang laki-laki yang sering memerankan sosok Raminten. Raminten adalah nama tokoh yang ia perankan di acara televisi Jogja TV yang berjudul Pengkolan. Nama asli pemiliknya adalah Hamzah Sulaeman.
Rumah makan ini terdiri dari 3 lantai, saat masuk kita akan disambut resepsionis yang akan mencatat nama kita dan jumlah rombongan. Selanjutnya kita akan diminta menunggu sembari memilih menu. Diruang tunggu kita disuguhi tontonan kebudayaan jogja melalui TV lcd. Diruang tunggu juga ada 2 kereta kencana yang masing-masing diberi bunga dan kemenyan. Setelah nama kita dipanggil, kita akan diantar menuju tempat yang kosong. Setelah itu ada pelayan yang akan mencatat menu pilihan kita dan kita harus langsung bayar. Saya lupa memfoto daftar menunya karena Gie agak rewel saat itu. Kami memesan nasi, sup, ayam koteka (ini ayam cincang direbus didalam bambu ya, bukan ayam pake koteka), sate usus, sate ati ampla, sate jamur, sate telur puyuh.
Untuk minumnya kami memesan jus melon, es tape hijau susu dan es kelapa muda jumbo. Semua menu tersebut sekitar 120.000. Rasanya enak, seperti masakan pada umumnya a.k.a biasa aja hahaha. Tapi suasana dan interiornya memang kece jadi worth lah ngantri lama.


2. Mie Ayam Ibu Tumini
Saya dan suami adalah mie ayam addict jadi bakalan kurang apdol kalau gak nyobain mie ayam yang terkenalnya gak karu-karuan ini. Dari pertama kali nonton yutuber makan mie ayam disini, saya sudah ngiler. Alhamdulillaah kemarin sempet kesini walaupun cukup jauh dari penginapan. Mie Ayam Bu Tumini ini ada di jalan Imogiri Tim no. 187 Giwangan, Umbulharjo. Dari jauh sudah terlihat buanyak sepeda motor terpakir di sisi kiri dan mobil di sisi kanan. Begitu masuk kita akan disuguhi antrian yang bikin kliyengan. Seriusan, saya belum pernah pergi ke tempat makan yang antrinya macem orang nungguin jatah raskin, bejibuuun. Setelah dapat tempat, kita langsung duduk dan sabaaar menunggu. Jadi caranya, bukan kita yang memesan menu tapi pelayannya akan membawa nampan besar berisi kira-kira 8 mangkok mie ayam biasa dan mie ayam ceker.
Nah ketika sampai di meja kita, kita langsung ambil mie ayam yang kita mau. Pun untuk minuman, pelayan akan berjalan dengan beberapa es jeruk di tangan kanan dan es teh di tangan kiri. Saya dan suami mengambil 2 mie ayam ceker dan 3 es jeruk. Kenapa es nya 3? Karena jogja panas dan didalam warungnya bu Tumini lebih panas lagi karena penuh dengan manusia kelaparan hahaha.
Rasanya enak, seriusan enak. Beda dengan mie ayam pada umumnya. Bumbu coklat ayamnya itu lho yang khas. Harganya tidak terlalu menguras kantong. Kuduu banget disamperin kalau lagi ke jogja.


3. Gudeg Yu Djum
Makanan ini juga saya tau dari yutuber-yutuber hahaha. Gudeg yu Djum ini sudah mulai berjualan dari tahun 1950. Djum adalah nama panggilan dari pemiliknya yaitu Djuwariah. Pusatnya ada di jalan Kaliurang. Kebetulan saya makan di cabang stasiun Tugu. Ini pertama kali saya mencoba gudeg. Tiap porsi nasi gudeg terdiri dari nasi, sayur nangka, krecek, tahu tempe. Lalu kita pilih mau lauk apa. Ada paha ayam, ayam suwir, telor atau sayap.
Rasanya manis gurih. Kata suami, yang membuat gudeg ini berbeda dari yang lain adalah bumbu coklat yang disiramkan di atas sayur dan lauknya.
Harganya tidak terlalu mahal untuk rumah makan yang punya banyak cabang. Jangan lupa mampir kesini juga kalau ke jogja.

"lho 2 hari di jogja, makannya cuma 3 kali?" yakalii buk, busui macem saya makannya segitu, gak mungkin lah hahaha. Selain 3 tempat di atas, kami lebih sering makan di penginapan dengan memesan makanan secara online. Grabfood, gofood, mainkaaaaann hahaha.
Tiga rumah makan legendaris ini menurut saya wajib didatangi kalau ke jogja. Bukan cuma membeli rasa tapi juga sensasinya. Sensasi makan ditemani bau kemenyan plus musik gamelan ala Raminten, sensasi ngantri sampe mabok di bu Tumini atau sensasi nunggu lama karena stok gudeg masih dijalan ala yu Djum cabang stasiun tugu. Tapi semuanya bener-bener worth untuk didatengin dan ditunggu, gak bakal nyesel. Dijamin.
Sekian cerita dari jogja, sekali lagi semoga menginspirasi bukan cuma ngimingi.
Salam sayang, ibuk Gie.

Comments

Popular posts from this blog

[Resensi] Jemima J (Jane Green) : Langsing bukan segala-galanya.

Setiap wanita itu cantik, terlepas dari ukuran baju, berat badan, tinggi badan, warna kulit dan sebagainya. Hanya saja terkadang lingkungan yang memasang kriteria khusus untuk dipanggil cantik, seperti harus langsing, mulus, rambut panjang dan lurus. Sehingga banyak wanita berlomba untuk menjadi langsing demi bisa masuk ke dalam kotak yang dilabeli "CANTIK" oleh sekitarnya. Maka akan ada wanita-wanita yang menjadi minder, tidak percaya diri karena tubuh mereka lebih berisi. Salah satunya adalah JJ alias Jemima Jones, yang ada dalam novel chicklit karangan Jane Green. Jemima Jones adalah wanita berumur 27 tahun yang bekerja sebagai jurnalis di Kilburn Herald, salah satu koran lokal di Inggris. Jemima Jones atau yang selanjutnya akan kita panggil JJ memiliki berat badan sekitar 120 kg. Hal ini yang membuatnya hampir setiap hari selalu bertekad untuk diet namun selalu kalah oleh sebatang cokelat atau sebungkus sandwich bacon favoritnya. JJ selalu berkhayal memiliki ba...

[Resensi] Jendela-Jendela (Fira Basuki): Aku, Kamu dan Jendela

Menjalani kehidupan rumah tangga memang tidak selalu mudah dan indah seperti di dongeng-dongeng. Ada kalanya kita merasa sangat bahagia, ada pula saat dimana kita merasa lelah dan tidak berdaya menghadapi persoalan hidup yang tak kunjung usai. Namun kita harus terus berusaha, berdoa kepada Tuhan agar semua masalah dapt terselesaikan dengan baik. Mungkin hal ini yang ingin diungkapkan Fira Basuki dalam bukunya yang berjudul "Jendela-Jendela". Buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2001 ini memiliki 154 halaman. Ini juga adalah buku pertama yang akan saya resensi. Deg-deg an sih. Karena basically saya bukan orang sastra ataupun paham tentang hal-hal seperti ini. Namun saya ingin memberikan resensi dari sudut pandang saya sebagai orang awam yang (berusaha) suka dan rajin membaca. Biar agak pinter dikit hihi. Oke let's start. June Larasati Subagio adalah wanita Indonesia yang menikah dengan lelaki Tibet bernama Jigme Tshering di tahun 1997 . Jigme adalah lelaki ya...

Jealous

Katanya cemburu itu tanda cinta, tanda sayang tapi kadang cemburu juga bisa bikin orang yang kita cintai merasa tertekan, terkekang dan tidak nyaman. Dulu saya adalah wanita pencemburu, sangat pencemburu, sampai sekarang sih sebenarnya tapi sekarang saya sudah mulai bisa mengontrolnya dengan baik. Sebelum menikah dengan suami, kami menjalani hubungan jarak jauh yang membuat kami jarang sekali bertemu. Paling cepat mungkin sebulan sekali. Hal ini memaksa saya untuk belajar mengontrol cemburu. Saya sering sekali overthinking. Entahlah wanita lain mengalami juga atau tidak tapi rasanya sangat tidak nyaman, tidak tenang dan khawatir saat tahu suami berinteraksi dengan wanita lain. Padahal kan itu wajar. Walaupun berpacaran atau sudah menikah kan kita tidak lantas memutus hubungan dengan semua lawan jenis. Semua hal ini saya pendam sendiri yang akhirnya membuat saya galau, sedih, muring-muring ndak jelas, selalu marah-marah hingga membuat orang disekitar juga ikutan emosi. Lalu ...