Jodoh adalah cerminan diri. Pepatah itu masih saya yakini sampai sekarang. Walaupun sering ada keraguan didalamnya. Saya dinikahi seseorang yang sama sekali bukan dari dunia saya. Kami bertemupun secara tidak sengaja, mungkin ini yang dinamakan jodoh. Saya merasa sangat bahagia mempunya suami yang pintar, baik dan sangat sabar menuntun saya. Namun selalu ada ketakutan dalam diri saya akan dunianya. Dunia kami sangat jauh berbeda. Kadang saya merasa begitu kecil dibanding teman-temannya. Merasa begitu jauh ketika dia menceritakan impian-impiannya yang bahkan saya tak pernah terbayang tentang itu. Melihat buku-buku berisi konten berat (menurut saya) yang berjajar rapi di kamar kami, membuat saya merasa bodoh. Merasa menjadi pemalas ketika melihat suami berangkat kerja sedangkan saya hanya dirumah sambil mencari informasi lowongan kerja yang tak kunjung didapat. Menjadi pengecut yang takut melompat untuk memulai hal yang baru di tanah perantauan. Ya, saya pesimis. Karena memang orang seperti itulh saya dari dulu. Saya selalu takut gagal bahkan sebelum memulai.
Saya tahu, saya wanita yang ceroboh, sembrono, kurang tanggap, malas dan tidak terlalu pintar. Mungkin karena itu semua, Allah menyandingkan saya dengan seseorang yang, untuk saya, nyaris sempurna. Saya begitu memgagumi suami saya. Bagaimana dia berfikir, memilih buku-buku berkualitas untuk dibaca, menasehati saya dengan sabar. Ntahlah, saya selalu merasa dia terlalu baik untuk saya. Seharusnya semua hal itu menjadi cambuk bagi saya untuk bisa memperbaiki diri. Tapi untuk sekarang, saya malah merasa minder. Saya merasa level saya berada jauh di bawah dia dan lingkungannya. Semua teman-temannya pasti penasaran, seperti apa sosok wanita yang dinikahi teman jeniusnya. Karena memang suami saya tidak mem-publish hubungan kami dari awal, tiba-tiba saja menikah. Jadi teman-temannya tidak banyak yang mengenal saya. Jujur saya malu jika harus berkenalan dengan mereka semua. Semuanya orang-orang sukses yang mempunyai prinsip dan semangat. Saya hanya seorang wanita yang benar-benar biasa saja bahkan cenderung "gak banget". Saya takut memasuki dunianya. Hal ini yang selalu saya fikirkan. Saya membanding-bandingkan diri saya dengan teman-temannya. Teman-temannya bekerja dan bermanfaat bagi orang lain, sementara saya hanya berkutat seputar kamar kos-dapur-kamar mandi. Yang lain berani berjalan keliling Indonesia bahkan dunia untuk menikmati hidup, saya berjalan ke gang depan untuk membeli sayuran. Saya bahagia, sungguh. Menjadi istri yang sepenuhnya melayani suami, yang selalu ada untuk suami, terlelap di pelukan suami, saya merasa mendapatkan dunia dan isiinya. Tapi ketika mendengar cerita tentang dunianya, seketika itu saya langsung ciut, mengecil sampai tertelan bumi rasanya.
Saya tidak mengeluhkan suami saya dan dunianya, tapi diri saya sendiri. Saya merasa bukan istri yang baik. Saya merasa saya tidak bisa mengimbangi dunianya dengan keadaan dan kemampuan saya sekarang. Mungkin Allah ingin saya berusaha, bukan untuk menyamakan level dengan teman-teman atau lingkungannya tapi untuk mencapai level sukses saya sendiri. Mungkin suami saya bercerita tentang teman-teman dan impiannya agar saya dapat ikut serta di dalamnya, hanya saja saya terlalu sensitif dan takut sehingga pesimis yang didahulukan, padahal sayya sangat mengerti bukan itu yang seharusnya saya rasakan ketika diajak suami untuk ikut serta dalam impian dan dunianya.
Jodoh adalah cerminan diri. Pepatah itu masih saya yakini sampai sekarang. Manusia diciptakan saling berpasangan bukan hanya untuk saling mencintai dan menyayangi, tapi juga untuk saling melengkapi. Setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing yang membuat mereka unik. Sayapun demikian. Begitu banyak kekurangan yang saya miliki, tertutupi oleh kasih sayang dan cinta yang suami berikan. Allah tidak akan pernah salah. Allah pasti punya rencana yang indah untuk kami. Saya hanya perlu berusaha lebih keras untuk mencapainya. Perlahan tapi pasti, saya akan belajar untuk kesuksesan dan kebahagian saya sendiri dan sebisa mungkin tidak membandingkan diri saya dengan orang lain. Terimakasih telah datang dalam hidup saya yang amburadul ini, Mas.
Comments
Post a Comment