Skip to main content

My Pre-Wedding Blues

Menikah adalah hal yang sangat membahagiakan dan dinanti-nanti, terutama bagi kaum wanita. Semua dongeng yang kita pernah dengar saat kita kecil, hampir semuanya berakhir bahagia dengan pernikahan. Seperti dongeng Cinderella yang akhirnya menikah dengan pangeran setelah pangeran mengadakan sayembara untuk mencari putri pemilik sepatu kaca atau cerita Snow White yang bangun dari tidur panjangnya setelah dicium oleh pangeran, kemudian mereka menikah dan bahagia. Karena dongeng-dongeng itulah kita percaya bahwa setelah menikah kita akan bahagia selamanya. Namun tidak semuanya bisa dilaksanakan semudah di dongeng tersebut. Satu hal positif yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari dongeng-dongeng itu adalah, kita harus melewati cobaan dan ujian yang banyak sebelum mendapatkan kebahagiaan.
Kita harus sadar bahwa menikah tidaklah semudah yang kita bayangkan. Bertemu orang yang kita sukai, dilamar, kemudian menikah. Itu singkatnya. Beberapa bulan yang lalu, saya masih beranggapan bahwa akan melepas masa lajang itu menyenangkan, membahagiakan. Saya belum tahu bahwa proses untuk menuju ke pernikahan, ternyata tidak mudah. Banyak sekali hal yang harus dipersiapkan, apalagi saya sebagai pihak perempuan. Persiapan mental dan fisik serta pesta pernikahan, cukup membuat otak saya panas dingin, hati saya kembang kempis dan badan saya tetap gemuk seperti biasa hahaha. Hal yang paling berat, menurut saya, dalam mempersiapkan pernikahan adalah, menyiapkan mental. Berkali-kali saya harus mengingatkan diri saya bahwa sebentar lagi saya akan menjadi istri dan calon ibu jadi saya harus memperbaiki kualitas diri saya agar bisa menjadi istri dan ibu yang baik nantinya. 
Yang tak kalah hebohnya adalah persiapan pesta pernikahan. Belakangan ini saya sering sekali berbeda pendapat dengan orang tua. Entah itu mengenai masalah gedung, fotografer bahkan untuk masalah dasi pun, kami berbeda pendapat. Saya harus benar-benar mengontrol emosi saya agar tidak meledak-ledak saat berdebat dengan mama. Saya selalu menjaga kesadaran saya bahwa bagaimanapun juga saya adalah seorang anak yang tidak boleh membentak orang tua. Kadang saya mengalah dan mengikuti keinginan orang tua. Lebih cepat keputusan diambil, lebih baik. Setelah dirempongkan dengan persiapan mental yang melelahkan serta perdebatan dengan orang tua yang menegangkan, seakan itu masih kurang menguras hati dan otak saya, permasalahan orang ketiga muncul. Orang ketiga yang saya maksud disini bukan selingkuhan ya, tapi pihak keluar besar yang ikut campur dalam persiapan pernikahan namun tidak memberi solusi justru menambah masalah. Hadeh. Saya meyakini untuk masalah persiapan pernikahan ini, semakin sedikit yang ikut campur, maka semakin bagus. Masalah semakin cepat selesai dan keputusan lebih cepat diambil.
Ditambah lagi, calon suami saya bekerja diluar kota dan tidak bisa selalu menemani saya mengurus ini dan itu. Adik saya juga bekerja diluar kota sehingga saya benar-benar sendiri. Menghadapi kenyataan seperti ini, kadang-kadang pikiran saya mulai memunculkan statement aneh-aneh. "ini beneran mau nikah? Koq kayaknya cuma situ aja yang heboh", "yakin bisa jadi istri yang baik? Coba dipikirin lagi", "yakin gak kamu sepadan sama calon suamimu?", "ntar abis nikah ujiannya lebih dari ini lho. Kayaknya gak bakalan sanggup deh". Semua kalimat-kalimat itu memenuhi otak dan hati saya. Membuat saya sering sedih dan menangis tanpa sebab yang jelas. Kadang saya ragu, apakah keputusan saya untuk menikah sekarang sudah benar atau saya masih butuh waktu lagi untuk mempersiapkan diri. Saya benar-benar merasa belum siap.
Namun saat melihat kebahagiaan mama dan ayah saat mempersiapkan pesta pernikahan untuk putri sulungnya, atau antusias calon suami saat membicarakan rencana-rencana masa depan kami kelak, rasanya saya ingin menampar pipi saya sendiri dan berteriak bahwa saya pasti bisa melewati ini semua, ini hanya ujian yang tidak lebih dari kemampuan yang saya miliki.  Saya sudah memutuskan untuk menikah dan saya yakin bahwa saya akan bahagia. Merekalah yang saya ingat ketika kewarasan saya sudah diambang batas karena memikirkan masalah persiapan pernikahan. Wajah mereka membuat semangat saya kembali membara untuk menuntaskan semua perjuangan ini sampai akhir.
Kalau kata mbak Anna Triana di dalam bukunya My Pre-Wedding Blues, "Setiap kebahagian sejati pasti menuntut perjuangan ekstra untuk menjadi nyata". Okeh, saya siap berjuang sampai titik darah penghabisan untuk menuju pernikahan yang bahagia hihihi. Tips nih dari saya untuk semua calon pengantin baik yang laki-laki ataupun wanita yang sedang terkena pre marriage syndrome seperti saya, selalu ingat bahwa kita mempunyai tujuan yang baik yaitu menikah, dan semua niat baik pasti akan dilancarkan oleh Tuhan. Jadi kita berusaha saja sebisa kita, jangan lupa berdoa. Sisanya, kita serahkan kepada Tuhan. Tidak perlu terlalu dipikirkan sampai stres, karena selama kita hidup, ujian itu akan selalu datang, bukan cuma saat kita akan menikah, namun setelah menikah nanti ujian kita akan semakin banyak dan berat. Tapi bukan berarti hidup kita cuma akan berisi ujian saja, karena setelah kita lulus dari ujian tersebut, kita akan mendapatkan hadiah yang sangat indah. Semangaaaat.
Tetap bahagia dan jaga kewarasan ya.
Salam #preweddingbluessquad

Comments

Popular posts from this blog

[Resensi] Jemima J (Jane Green) : Langsing bukan segala-galanya.

Setiap wanita itu cantik, terlepas dari ukuran baju, berat badan, tinggi badan, warna kulit dan sebagainya. Hanya saja terkadang lingkungan yang memasang kriteria khusus untuk dipanggil cantik, seperti harus langsing, mulus, rambut panjang dan lurus. Sehingga banyak wanita berlomba untuk menjadi langsing demi bisa masuk ke dalam kotak yang dilabeli "CANTIK" oleh sekitarnya. Maka akan ada wanita-wanita yang menjadi minder, tidak percaya diri karena tubuh mereka lebih berisi. Salah satunya adalah JJ alias Jemima Jones, yang ada dalam novel chicklit karangan Jane Green. Jemima Jones adalah wanita berumur 27 tahun yang bekerja sebagai jurnalis di Kilburn Herald, salah satu koran lokal di Inggris. Jemima Jones atau yang selanjutnya akan kita panggil JJ memiliki berat badan sekitar 120 kg. Hal ini yang membuatnya hampir setiap hari selalu bertekad untuk diet namun selalu kalah oleh sebatang cokelat atau sebungkus sandwich bacon favoritnya. JJ selalu berkhayal memiliki ba...

[Resensi] Jendela-Jendela (Fira Basuki): Aku, Kamu dan Jendela

Menjalani kehidupan rumah tangga memang tidak selalu mudah dan indah seperti di dongeng-dongeng. Ada kalanya kita merasa sangat bahagia, ada pula saat dimana kita merasa lelah dan tidak berdaya menghadapi persoalan hidup yang tak kunjung usai. Namun kita harus terus berusaha, berdoa kepada Tuhan agar semua masalah dapt terselesaikan dengan baik. Mungkin hal ini yang ingin diungkapkan Fira Basuki dalam bukunya yang berjudul "Jendela-Jendela". Buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2001 ini memiliki 154 halaman. Ini juga adalah buku pertama yang akan saya resensi. Deg-deg an sih. Karena basically saya bukan orang sastra ataupun paham tentang hal-hal seperti ini. Namun saya ingin memberikan resensi dari sudut pandang saya sebagai orang awam yang (berusaha) suka dan rajin membaca. Biar agak pinter dikit hihi. Oke let's start. June Larasati Subagio adalah wanita Indonesia yang menikah dengan lelaki Tibet bernama Jigme Tshering di tahun 1997 . Jigme adalah lelaki ya...

Jealous

Katanya cemburu itu tanda cinta, tanda sayang tapi kadang cemburu juga bisa bikin orang yang kita cintai merasa tertekan, terkekang dan tidak nyaman. Dulu saya adalah wanita pencemburu, sangat pencemburu, sampai sekarang sih sebenarnya tapi sekarang saya sudah mulai bisa mengontrolnya dengan baik. Sebelum menikah dengan suami, kami menjalani hubungan jarak jauh yang membuat kami jarang sekali bertemu. Paling cepat mungkin sebulan sekali. Hal ini memaksa saya untuk belajar mengontrol cemburu. Saya sering sekali overthinking. Entahlah wanita lain mengalami juga atau tidak tapi rasanya sangat tidak nyaman, tidak tenang dan khawatir saat tahu suami berinteraksi dengan wanita lain. Padahal kan itu wajar. Walaupun berpacaran atau sudah menikah kan kita tidak lantas memutus hubungan dengan semua lawan jenis. Semua hal ini saya pendam sendiri yang akhirnya membuat saya galau, sedih, muring-muring ndak jelas, selalu marah-marah hingga membuat orang disekitar juga ikutan emosi. Lalu ...