Skip to main content

Mom-Shaming: Nyinyir berujung petaka


Serem amat judulnya kayak sinetron azab di tipi. Biarin. Biar semua pada tau, bahayanya mom-shaming. Sebelumnya saya mau cerita dulu. Akhir-akhir ini beredar kisah seorang suami yang rela resign dari tempat kerjanya dan memilih menjadi ojek online demi menjaga istrinya yang sedang sakit. Aaa romantisnyaa. Tapi bukan itu fokus kita buibu, abis ini jangan pada minta suaminya resign buat nemenin dirumah ya. Dapur kagak ngebul nanti buk hahay. Yang perlu kita ketahui adalah penyakit istri si bapak ini. Istri bapak ini, kita sebut saja ibu A, mengalami postpartum depression yang parah. Sebenarnya wajar seorang new mom mengalami baby blues atau post partum depression, hanya saja yang dialami ibu A ini diperparah dengan komentar-komentar para netijen yang masih kerabat dekatnya, tentang proses melahirkan secara sesar. Ibu A merasa sendirian dan terus disalahkan, hingga puncaknya dia dengan tanpa sadar membanting anaknya di atas kasur, Astaghfirullooh. Ibu A ini merupakan salah satu contoh korban mom-shaming yang sekarang sudah mulai membaik keadaannya berkat dukungan penuh suami.

Apa itu mom-shaming? Kok bisa sampai bikin ibu banting anaknya? Mom-shaming berarti merendahkan seorang ibu karena pilihan pengasuhannya berbeda dari pilihan-pilihan yang dianut si pengkritik. Menurut Psikolog Monica Sulistiawati, mom-shaming seperti bullying, namun tujuannya membuat ibu yang menjadi target merasa salah dan buruk, sementara si pelaku benar dan sempurna. Perilaku mom-shaming bisa berupa sindiran, komentar, dan kritik yang sifatnya negatif. Biasanya sih hal ini dilakukan oleh netijen yang sudah pernah memiliki anak atau mereka yang (merasa) punya wawasan dan pengetahuan lebih tentang per-bayi-an. Serius, saya tidak habis pikir, sebenarnya apa sih tujuan mereka melakukan Mom-shaming? Apa mereka benar-benar tidak tahu bahwa yang mereka lakukan bisa berdampak pada mental si ibu? Apa mereka akan merasa puas dan bangga setelah menjatuhkan mental seorang ibu yang butuh dukungan? Manusia macam apa yang tak berperasaan seperti ituuuhhh.

Ada saja hal-hal yang mereka kritik. Mulai dari masalah cara melahirkan, pemberian susu, cara menggendong, bahkan pakaian bayipun tak luput mereka komentari. Kok ibuk Gie tau sih? Ya tau dong, kan saya salah satu korban mom-shaming. Pelakunya? Orang-orang sekitar lah. Apa yang dikomentari? Semuanyaaah pemirsa. Dari mulai saya lahiran sesar, katanya kurang afdhol jadi ibu kalo belum lahiran normal. Suka-suka kao lah bu. Lalu masalah pemberian ASI. Katanya, anak lelaki minum lebih banyak dari perempuan, jadi ASI saya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan Gie, harus dibantu sufor. Padahal Gie selalu kenyang dan sehat tuh. Kemudian katanya saya harus membiasakan Gie minum menggunakan botol, agar bisa ditinggal, biar gak gelendotan sama ibunya terus. Lha biarin aja sih, wong anak saya glendotan sama saya bukan sama situ. Lalu katanya Gie harus sambil disuapi pisang agar kenyang dan tidurnya anteng. Hahaha you wish. Pernah juga saya dikomentari tentang per-gendong-an. Katanya belum boleh digendong berdiri sambil bilang "saya ini lebih pengalaman,  anak saya banyak. Kamu mau anakmu kepalanya miring?" dan ini bilang ke ayahnya Gie. duh bu, iya tau yang banyak anaknya, gak usah koar-koar gitu ah, malu sama petugas KB. Dan ada yang terbaru nih. Baru saja terjadi beberapa hari yang lalu. Gie digigit nyamuk dan orang yang melihat bekas gigitan nyamuk langsung berkomentar dengan nada dasar tinggi " duh ini digigit nyamuk ya? Ibunya ngapain aja kok anaknya bisa digigit nyamuk?" Ibunya sedang melawan penjajah bu, makanya gak sempat ngawasi nyamuk. Lain kali saya suruh nyamuk laporan dulu sebelum gigit Gie.

Tolong jangan lakukan Mom-shaming dengan alasan hanya memberi saran, sekedar mengingatkan, lebih berpengalaman de-el-el.  Karena hal ini bisa sangat berpengaruh terhadap mental si ibu apalagi new mom yang masih baby blues, bisa tambah stres. Ibu yang tidak bahagia akan mempengaruhi produksi ASI dan akhirnya mempengaruhi perkembangan anak. Secara tidak langsung mom-shaming juga menggangu pertumbuhanan anaknya. Selain si ibu depresi, anaknya juga jadi kurang sehat, serem kan dampaknya. Setiap anak sudah dititipkan pada ibu yang tepat dan semua ibu pasti akan melakukan dan memberikan yang terbaik pada anak-anaknya. Mau sesar atau normal, sufor atau asi, jarik atau geos, mpASI homemade atau beli, kita semua tetap ibu yang terbaik bagi anak kita masing-masing. Tidak perlu saling menghakimi, hanya akan menambah beban mental yang sudah berat bagi new mom. Trial and error itu wajar terjadi buibu, namanya juga masih baru belajar, tidak usah terlalu dibesar-besarkan.

Saya selalu berusaha menahan diri dan emosi agar tidak meledak saat jadi korban Mom-shaming. Biasanya saya hanya tersenyum dan menggurutu dalam hati " gak ikut bayarin rumah sakit tapi kok ndak terima aku sesar" atau "mau gendonganku enak atau ndak, yang penting anakku nyaman pas tak gendong" atau lagi "kok bisa komentar begitu, kan itu nyakitin, kayak gak pernah jad ibu aja". Bagi saya, my children my rules. Mau orang komentar apapun sampai berbusa, tidak akan pernah saya ikuti jika berlawanan dengan prinsip yag saya anut. Silahkan terapkan itu pada anak mereka sendiri, jangan pada anak saya. Memberi saran boleh, tetapi jangan memaksa untuk diikuti. Hellooww, kagak ikut begadang kalau anak guweh rewel tapi riweh bener ngatur hidup guweh. Duh kan bawaannya pengen ngomel aja kalau bahas ginian hahaha.

Intinya, Allah sudah mempercayakan anak pada masing-masing ibu itu artinya si ibu mampu mengasuh anak tersebut dengan baik dan benar. Tidak perlu kita menghakimi kalau parenting style yg mereka gunakan berbeda dengan yang kita anut. Sama seperti kita yang merasa prinsip kita paling benar, merekapun merasa demikian. Ada baiknya kita bisa saling menghormati dan menghargai pilihan masing-masing. Silahkan memberikan saran dan kritik, sampaikan dengan lembut tanpa memaksa ya. Bagi buibu yang jadi korban, jangan segan untuk meminta bantuan suami untuk jadi tameng pelindung untuk menghempas manjaah komentar-komentar julid para netijen. Terus asuh dan cintai anak ibu dengan cara yang ibu yakini terbaik. Jangan merasa rendah diri atau selalu salah. Satu hal yang harus buibu tau, netijen akan selalu berkomentar miring terhadap apapun yang kita lakukan jadi kita harus sedikit "bodo amat" dengan semua omongan yang menyesakkan hati. Kita harus selalu happy, biar anak juga tumbuh sehat dan bahagia. Semoga tulisan ini bermanfaat ya, sampai jumpa di tulisan selanjutnya.
Selalu bahagia
-Ibuk Gie-

Comments

Popular posts from this blog

[Resensi] Jemima J (Jane Green) : Langsing bukan segala-galanya.

Setiap wanita itu cantik, terlepas dari ukuran baju, berat badan, tinggi badan, warna kulit dan sebagainya. Hanya saja terkadang lingkungan yang memasang kriteria khusus untuk dipanggil cantik, seperti harus langsing, mulus, rambut panjang dan lurus. Sehingga banyak wanita berlomba untuk menjadi langsing demi bisa masuk ke dalam kotak yang dilabeli "CANTIK" oleh sekitarnya. Maka akan ada wanita-wanita yang menjadi minder, tidak percaya diri karena tubuh mereka lebih berisi. Salah satunya adalah JJ alias Jemima Jones, yang ada dalam novel chicklit karangan Jane Green. Jemima Jones adalah wanita berumur 27 tahun yang bekerja sebagai jurnalis di Kilburn Herald, salah satu koran lokal di Inggris. Jemima Jones atau yang selanjutnya akan kita panggil JJ memiliki berat badan sekitar 120 kg. Hal ini yang membuatnya hampir setiap hari selalu bertekad untuk diet namun selalu kalah oleh sebatang cokelat atau sebungkus sandwich bacon favoritnya. JJ selalu berkhayal memiliki ba...

[Resensi] Jendela-Jendela (Fira Basuki): Aku, Kamu dan Jendela

Menjalani kehidupan rumah tangga memang tidak selalu mudah dan indah seperti di dongeng-dongeng. Ada kalanya kita merasa sangat bahagia, ada pula saat dimana kita merasa lelah dan tidak berdaya menghadapi persoalan hidup yang tak kunjung usai. Namun kita harus terus berusaha, berdoa kepada Tuhan agar semua masalah dapt terselesaikan dengan baik. Mungkin hal ini yang ingin diungkapkan Fira Basuki dalam bukunya yang berjudul "Jendela-Jendela". Buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2001 ini memiliki 154 halaman. Ini juga adalah buku pertama yang akan saya resensi. Deg-deg an sih. Karena basically saya bukan orang sastra ataupun paham tentang hal-hal seperti ini. Namun saya ingin memberikan resensi dari sudut pandang saya sebagai orang awam yang (berusaha) suka dan rajin membaca. Biar agak pinter dikit hihi. Oke let's start. June Larasati Subagio adalah wanita Indonesia yang menikah dengan lelaki Tibet bernama Jigme Tshering di tahun 1997 . Jigme adalah lelaki ya...

Jealous

Katanya cemburu itu tanda cinta, tanda sayang tapi kadang cemburu juga bisa bikin orang yang kita cintai merasa tertekan, terkekang dan tidak nyaman. Dulu saya adalah wanita pencemburu, sangat pencemburu, sampai sekarang sih sebenarnya tapi sekarang saya sudah mulai bisa mengontrolnya dengan baik. Sebelum menikah dengan suami, kami menjalani hubungan jarak jauh yang membuat kami jarang sekali bertemu. Paling cepat mungkin sebulan sekali. Hal ini memaksa saya untuk belajar mengontrol cemburu. Saya sering sekali overthinking. Entahlah wanita lain mengalami juga atau tidak tapi rasanya sangat tidak nyaman, tidak tenang dan khawatir saat tahu suami berinteraksi dengan wanita lain. Padahal kan itu wajar. Walaupun berpacaran atau sudah menikah kan kita tidak lantas memutus hubungan dengan semua lawan jenis. Semua hal ini saya pendam sendiri yang akhirnya membuat saya galau, sedih, muring-muring ndak jelas, selalu marah-marah hingga membuat orang disekitar juga ikutan emosi. Lalu ...