Skip to main content

Toilet Training

Sebagai seorang ibu beranak satu, semua hal dalam menjadi orang tua dan mengurus anak adalah hal yang amat sangat baru bagi saya. Ada kalanya saya merasa percaya diri bisa melaluinya dengan baik, namun tidak jarang saya merasa pesimis dan ingin menyerah. Banyak ilmu tentang parenting yang ingin saya terapkan, tetapi hasilnya tidak sesuai yang diinginkan. Seperti, tidak memberikan gadget pada anak agar perkembangannya optimal, tetapi karena satu dan lain hal, saya memberikan gadget pada Gie. Jujur, saya merasa bersalah. Saya merasa menjadi ibu yang kurang baik karena hal itu. Saya takut Gie akan kecanduan dan tidak berkembang dengan baik. Namun Gie tetap tumbuh dengan baik. Dia hanya menggunakan gadget di dalam rumah. Ketika dia diluar rumah, dia sama sekali tidak melirik gadgetnya. Dia akan sibuk berlarian kesana kemari, bermain prosotan, menghampiri semua orang yang menarik perhatiannya, serta cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Gie menyelamatkan saya dari perasaan bersalah yang saya rasakan sebelumnya.

Di artikel sebelumnya, saya sudah pernah menceritakan bagaimana seorang Gie melewati proses menyapih yang luar biasa. Dan baru-baru ini saya kembali dibuat kagum dengan bagaimana Gie mengerti dan bersabar. Toilet Training dengan level kesulitan yang jauh lebih tinggi dari pada menyapih, menurut saya. Awalnya saya pesimis bisa melalui fase ini, karena sampai beberapa saat sebelum mencoba, Gie masih belum paham apa itu "kebelet pipis atau pup". Dengan setengah hati, saya memulai prosesnya di akhir Agustus kemarin. Berdasarkan banyak saran dari para ibu, saya menggunakan metode "Ke kamar mandi 1 jam sekali". Setiap jam, saya bawa Gie ke kamar mandi untuk buang air kecil. Saya bahkan menyalakan alarm agar tidak terlewat. Sedangkan di malam hari, gie kembali memakai popok saat tidur. Hal ini berlangsung dengan baik walaupun beberapa kali saya kecolongan karena Gie terlanjur buang air kecil di popoknya. Tapi sejujurnya, membawa anak balita yang sudah mulai bisa protes dan menolak, setiap jam ke kamar mandi dan menyuruhnya buang air, amat sangat melelahkan. Tidak jarang saya marah karena kecolongan atau Gie tidak mau buang air kecil sesampainya di kamar mandi. Saya merasa frustasi. Saya tidak tahu harus bagaimana agar Gie mengerti yang namanya kebelet pipis. Namun proses tersebut hanya berlangsung 5 hari saja, karena kami harus pergi keluar kota, sehingga proses toilet trainingnya harus dihentikan dan Gie kembali memakai popok. Saya pikir usaha saya selama 5 hari itu gagal, bubar, buyar semua.

Sampai pada pertengahan September kemarin, Gie tiba-tiba bilang "buk, jii dding" yang artinya "buk, gie mau ke jedding (kamar mandi)" sambil menunjuk ke arah celananya. Saya langsung gedubrakan bawa dia ke kamar mandi, ternyata dia mau buang air kecil. Sejak saat itu, sampai sekarang dia selalu bilang dan ngajak ke kamar mandi setiap mau buang air kecil. Gie hanya memakai popok di malam hari selama seminggu, setelah itu dia bebas popok sampe sekarang. Dia buang air kecil sebelum tidur dan saat bangun tidur. Terkadang dia bangun tengah malam dan membangunkan saya atau ayahnya saat dia ingin buang air kecil. Untuk buang air besar, beberapa kali saya kecolongan karena dia belum mengerti kebelet pup. Tapi seminggu ini, dia sudah paham dan selalu bilang saat akan buang air kecil dan besar. Sungguh proses yang, menurut saya, sangat singkat dan tidak pernah saya duga sebelumnya. Hal penting yang selalu saya lakukan adalah sounding. Setiap sempat saya selalu bilang pada Gie, bahkan saat dia tidur "Gie, kalau mau pipis atau pup, bilang ibuk ya. Ibuk anterin gie ke jedding". Saya rasa hal ini cukup berpengaruh pada Gie. Dia akan selalu inget hubungan pipis, pup dan jedding. Sehingga saat dia merasa ingin buang air, dia akan mengingat kamar mandi. Ketika dia sudah terbiasa buang air di kamar mandi, dia akan merasa risih untuk buang air di tempat lain atau di celana.

Sekali lagi saya merasa terkesima, kagum. Saya tahu setiap anak akan selalu terlihat hebat di mata orang tuanya tapi saya amat sangat mengagumi Gie. Karena kegigihan dan pengertiannya yang luar biasa terhadap orangtuanya, terutama saya, ibunya. Bagaimana dia berusaha untuk memahami amarah ibunya yang meledak-ledak hanya karena dia buang air kecil di popok atau buang air besar tanpa bilang. Bagaimana dia bersabar dan kembali memeluk ibunya setelah dimarahi, padahal saya yakin dia tidak mengerti salahnya dimana. Saya pun paham dia tidak salah sama sekali. Saya yang salah, saya yang kurang sabar, saya yang tidak mengerti bahwa dia pun berusaha keras untuk mengerti apa itu kebelet pipis, bagaimana cara menahannya sebelum sampai ke kamar mandi. Saya terus merasa saya lah yang paling berusaha, yang paling sabar, tanpa memikirkan perasaan Gie. Sama seperti saya, hal ini juga pengalaman pertama untuk Gie. Dan dia melakukan semuanya dengan sangat baik.

Saya merasa sangat bersyukur memiliki seorang Gie yang sangat pengertian, sabar dan tidak pernah menyerah. Saya selalu merasa menjadi ibu yang kurang baik, tetapi Gie selalu memberi kekuatan  sehingga saya bisa melewati semua masa sulit. Ntah kesulitan apalagi yang akan saya hadapi di masa depan, tapi satu hal yang saya tahu, Gie akan selalu memeluk dan menjadi kekuatan bagi saya.

Untuk para ibu yang sedang menghadapi masa sulit, percayalah, itu semua akan berlalu. Kita hanya perlu bertahan dengan baik, berusaha sekuat tenaga. Tolong jangan bandingkan proses anak kita dengan anak orang lain. Mereka semua spesial dan memiliki proses masing-masing. Kita hanya perlu mendampingi, mencintai dan menyayangi mereka tanpa syarat. Jangan pernah lupa, kita adalah yang terbaik untuk anak-anak kita.

Happy reading.
See you on next article.
Peluk tium dari ibuk Gie.

Comments

Popular posts from this blog

[Resensi] Jemima J (Jane Green) : Langsing bukan segala-galanya.

Setiap wanita itu cantik, terlepas dari ukuran baju, berat badan, tinggi badan, warna kulit dan sebagainya. Hanya saja terkadang lingkungan yang memasang kriteria khusus untuk dipanggil cantik, seperti harus langsing, mulus, rambut panjang dan lurus. Sehingga banyak wanita berlomba untuk menjadi langsing demi bisa masuk ke dalam kotak yang dilabeli "CANTIK" oleh sekitarnya. Maka akan ada wanita-wanita yang menjadi minder, tidak percaya diri karena tubuh mereka lebih berisi. Salah satunya adalah JJ alias Jemima Jones, yang ada dalam novel chicklit karangan Jane Green. Jemima Jones adalah wanita berumur 27 tahun yang bekerja sebagai jurnalis di Kilburn Herald, salah satu koran lokal di Inggris. Jemima Jones atau yang selanjutnya akan kita panggil JJ memiliki berat badan sekitar 120 kg. Hal ini yang membuatnya hampir setiap hari selalu bertekad untuk diet namun selalu kalah oleh sebatang cokelat atau sebungkus sandwich bacon favoritnya. JJ selalu berkhayal memiliki ba...

[Resensi] Jendela-Jendela (Fira Basuki): Aku, Kamu dan Jendela

Menjalani kehidupan rumah tangga memang tidak selalu mudah dan indah seperti di dongeng-dongeng. Ada kalanya kita merasa sangat bahagia, ada pula saat dimana kita merasa lelah dan tidak berdaya menghadapi persoalan hidup yang tak kunjung usai. Namun kita harus terus berusaha, berdoa kepada Tuhan agar semua masalah dapt terselesaikan dengan baik. Mungkin hal ini yang ingin diungkapkan Fira Basuki dalam bukunya yang berjudul "Jendela-Jendela". Buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2001 ini memiliki 154 halaman. Ini juga adalah buku pertama yang akan saya resensi. Deg-deg an sih. Karena basically saya bukan orang sastra ataupun paham tentang hal-hal seperti ini. Namun saya ingin memberikan resensi dari sudut pandang saya sebagai orang awam yang (berusaha) suka dan rajin membaca. Biar agak pinter dikit hihi. Oke let's start. June Larasati Subagio adalah wanita Indonesia yang menikah dengan lelaki Tibet bernama Jigme Tshering di tahun 1997 . Jigme adalah lelaki ya...

Jealous

Katanya cemburu itu tanda cinta, tanda sayang tapi kadang cemburu juga bisa bikin orang yang kita cintai merasa tertekan, terkekang dan tidak nyaman. Dulu saya adalah wanita pencemburu, sangat pencemburu, sampai sekarang sih sebenarnya tapi sekarang saya sudah mulai bisa mengontrolnya dengan baik. Sebelum menikah dengan suami, kami menjalani hubungan jarak jauh yang membuat kami jarang sekali bertemu. Paling cepat mungkin sebulan sekali. Hal ini memaksa saya untuk belajar mengontrol cemburu. Saya sering sekali overthinking. Entahlah wanita lain mengalami juga atau tidak tapi rasanya sangat tidak nyaman, tidak tenang dan khawatir saat tahu suami berinteraksi dengan wanita lain. Padahal kan itu wajar. Walaupun berpacaran atau sudah menikah kan kita tidak lantas memutus hubungan dengan semua lawan jenis. Semua hal ini saya pendam sendiri yang akhirnya membuat saya galau, sedih, muring-muring ndak jelas, selalu marah-marah hingga membuat orang disekitar juga ikutan emosi. Lalu ...