Skip to main content

Coban Rais


Batu adalah surganya pecinta air terjun atau coban. Mulai dari coban rondo, coban talun, coban putri, coban pelangi, coban rais dan masih banyak lagi. Saya mengunjungi salah satu coban tersebut, yaitu coban Rais yang terletak di oro-oro ombo. Di kawasan coban Rais terdapat beberapa wahana menarik yaitu Batu flower Garden, taman bungan dengan buanyak spot foto menarik, yang setiap spotnya kudu mbayar sehingga emak-emak satu ini harus berpikir puluhan kalo untuk masuk kesana.
Ada pula rumah Hobit. Rumah kurcaci dengan beberapa wahana seperti fly bike dan spot foto lucu. Jangan tanya mana foto saya di kedua wahana tersebut karena saya tidak masuk hahaha.  Fokus saya dan suami adalah ke air terjunnya.

Begitu sampai di parkiran kita harus membayar 5000 untuk parkir lalu kita akan disuguhi jalan beraspal yang panjang dan menanjak. Kita harus berjalan kaki. Tapi kalau mau kita juga bisa naik ojek. Banyak sekali ojek yang akan menawarkan jasanya. Ojek khusus coban Rais, jangan mencari Gojek atau Grab disana ya. Biayanya cukup murah, Rp.10.000 dari parkiran ke Batu Flower Garden. Tapi saya dan suami memilih berjalan kaki. Itung-itung pemanasan sebelum menghadapi medan sebenarnya. Saat di parkiran, saya sempat bertanya pada petugas disana tentang letah air terjunnya. Kata mereka air terjunnya berjarak sekitar 4-5 km dari parkiran. Yang tidak mereka jelaskan adalah medan yang harus kami tempuh.
Setelah melewati Batu Flower Garden, kami dihadapkan pada jalan setapak yag diapit jurag di sisi kiri dan saluran air disisi kanan yang mengharuskan berjalan sendiri-sendiri, ndak bisa gandengan. Padahal kan saya ndak bisa kalau harus jauh dari suami. Oke fine saya mulai alay. Kami melewati jalan setapak yang banyak tanjakan tersebut dan sampai di tanah lapang. 
Di tempat tersebut ada sebuah warung dan pangkalan ojek. Ya kita bisa naik ojek dari Batu Flower Garden sampai titik ini dengan Rp. 25.000 saja. Sudah sampai? Belum pemirsa, perjuangan kita baru saja dimulai. Setelah dari warung tersebut medannya mulai tidak masuk akal, untuk saya. Jalan menanjak tanpa ampun, menyebrang sungai tanpa jembatan, membelah hutan, naik ke batu-batu sungai raksasa. Susah sekaleee, apalagi saya pakai gamis. Kebayang kan gimana hebohnya ibu-ibu pake gamis mencak-mencak nyebrang sungai.


Saya hampir menyerah. Serius!. Saya sempat hampir pingsan. Mata sudah berkunang-kunang, perut sakit, kepala kliyengan karrna belum sarapan dan kecapekan. Kalau saja ada jalan untuk pulang yang mulus tanpa tanjakan, pasti saya putar balik. Tapi saya mbatin, kok yo eman wes nyampek sini, lanjut aja sekalian. Tiap kami papasan dengan pendaki yang lain, kami saling bertegur sapa dan selalu mendapat suntikan semangat. "ayo semangat, kurang sedikit lagi, 10 menit lagi". Bahkan ada pasangan suami istri yang tidak muda lagi sudah sampai sana. Saya yang masih agak muda, malu dong kalau harus menyerah.
Lagipula tidak ada pilihan untuk mundur, jadi lanjut sampai tetes darah penghabisan. Akhirnya setelah hampir 1 jam berjalan melewati halangan dan rintangan dengan berkali-kali berhenti untuk istirahat, kami sampai di coban Rais yang sebenarnya.
 


Air terjunnya indah dan masih sangat asri. Tidak ada satupun manusia yang berjualan disana. Hanya ada banyak orang berswafoto. Untungnya saya sudah membawa bekal. Jadi begitu sampai di atas, kami langsung istirahat dan makan siang. Setelah setengah jam diatas, kami memutuskan untuk turun. Dan jalan turun tidak seseram saat naik tadi, padahal jalannya sama. Kami turun kurang dari 30 menit.

Ini pengalamam pertama saya dan suami dan Gie juga ke coban Rais. Luar biasa lelahnya. Untuk ukuran pendaki seperti suami yang sudah sering naik gunung saja masih capek, apalagi saya yang biasanya cuma leyeh-leyeh di kasur. Harus saya akui, suami saya amat sangat strong sekali. Selama berjalan kaki pulang pergi ke coban Rais, beliau yang menggendong Gie bahkan sampai Gie tertidur. Saya ndak kuat jalan nanjak sambil gendong Gie, jadi saya cuma kebagian bawain bekal.

Buat temen-temen yang mau ke coban Rais, ke air terjunnya ya bukan cuma sampai Batu Flower Garden, saya punya beberapa saran.
1.  Sarapan, isi perut dengan makan makanan bergizi ya, biar kuat nanjak. Ini serius. Jangan naik dalam keadaan perut kosong walaupun kalian udah biasa ndak sarapan. Gak mau kan kliyengan kayak saya, atau pingsan disono. UGD juauh gaes.
2. Bawa bekal, terutama air. Kalau laper masih bisa ditahan, tapi haus nehi nehii.
3. Jangan membawa barang terlalu banyak. Meskipun di atas ndak ada orang jualan, jangan seisi toko kita bawa semua, bakal susah nanjaknya kalau barang kita terlalu berat.

4. Pakai alas kaki yang mendaki-able. Fortunately saya dan suami memang dari awal memakai kaos kaki dan sepatu jadi tidak tetlalu bermasalah untuk mendaki. Saya menjumpai beberapa orang yang memakai sandal jepit dan sandal cantik a.k.a sandal bermanik-manik dengan banyak tali-tali. Mereka terpaksa melepas sandal dan nyeker.

5. Siapkan mental. Mungkin terdengar agak lebay tapi memang tidak mudah membulatkan hati untuk melakukan perjalan secapek itu. Biasanya niat kita mulai buyar saat di tengah jalan. Ingat saja bahwa ini adalah perjalanan yang akan kita banggakan suatu saat nanti hahai.

Sampai sini tulisan saya tentang liburan yang harusnya tipis-tipis namun nyatanya tebal-tebal. Semoga bisa bermanfaat jadi referensi teman-teman yang mau ke coban Rais.
See you on next trip.

Comments

Popular posts from this blog

[Resensi] Jemima J (Jane Green) : Langsing bukan segala-galanya.

Setiap wanita itu cantik, terlepas dari ukuran baju, berat badan, tinggi badan, warna kulit dan sebagainya. Hanya saja terkadang lingkungan yang memasang kriteria khusus untuk dipanggil cantik, seperti harus langsing, mulus, rambut panjang dan lurus. Sehingga banyak wanita berlomba untuk menjadi langsing demi bisa masuk ke dalam kotak yang dilabeli "CANTIK" oleh sekitarnya. Maka akan ada wanita-wanita yang menjadi minder, tidak percaya diri karena tubuh mereka lebih berisi. Salah satunya adalah JJ alias Jemima Jones, yang ada dalam novel chicklit karangan Jane Green. Jemima Jones adalah wanita berumur 27 tahun yang bekerja sebagai jurnalis di Kilburn Herald, salah satu koran lokal di Inggris. Jemima Jones atau yang selanjutnya akan kita panggil JJ memiliki berat badan sekitar 120 kg. Hal ini yang membuatnya hampir setiap hari selalu bertekad untuk diet namun selalu kalah oleh sebatang cokelat atau sebungkus sandwich bacon favoritnya. JJ selalu berkhayal memiliki ba...

[Resensi] Jendela-Jendela (Fira Basuki): Aku, Kamu dan Jendela

Menjalani kehidupan rumah tangga memang tidak selalu mudah dan indah seperti di dongeng-dongeng. Ada kalanya kita merasa sangat bahagia, ada pula saat dimana kita merasa lelah dan tidak berdaya menghadapi persoalan hidup yang tak kunjung usai. Namun kita harus terus berusaha, berdoa kepada Tuhan agar semua masalah dapt terselesaikan dengan baik. Mungkin hal ini yang ingin diungkapkan Fira Basuki dalam bukunya yang berjudul "Jendela-Jendela". Buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2001 ini memiliki 154 halaman. Ini juga adalah buku pertama yang akan saya resensi. Deg-deg an sih. Karena basically saya bukan orang sastra ataupun paham tentang hal-hal seperti ini. Namun saya ingin memberikan resensi dari sudut pandang saya sebagai orang awam yang (berusaha) suka dan rajin membaca. Biar agak pinter dikit hihi. Oke let's start. June Larasati Subagio adalah wanita Indonesia yang menikah dengan lelaki Tibet bernama Jigme Tshering di tahun 1997 . Jigme adalah lelaki ya...

Jealous

Katanya cemburu itu tanda cinta, tanda sayang tapi kadang cemburu juga bisa bikin orang yang kita cintai merasa tertekan, terkekang dan tidak nyaman. Dulu saya adalah wanita pencemburu, sangat pencemburu, sampai sekarang sih sebenarnya tapi sekarang saya sudah mulai bisa mengontrolnya dengan baik. Sebelum menikah dengan suami, kami menjalani hubungan jarak jauh yang membuat kami jarang sekali bertemu. Paling cepat mungkin sebulan sekali. Hal ini memaksa saya untuk belajar mengontrol cemburu. Saya sering sekali overthinking. Entahlah wanita lain mengalami juga atau tidak tapi rasanya sangat tidak nyaman, tidak tenang dan khawatir saat tahu suami berinteraksi dengan wanita lain. Padahal kan itu wajar. Walaupun berpacaran atau sudah menikah kan kita tidak lantas memutus hubungan dengan semua lawan jenis. Semua hal ini saya pendam sendiri yang akhirnya membuat saya galau, sedih, muring-muring ndak jelas, selalu marah-marah hingga membuat orang disekitar juga ikutan emosi. Lalu ...