Skip to main content

Menunggu



Sebagai mantan pejuang LDR, seharusnya skill menunggu saya tidak perlu diragukan lagi. Berpisah puluhan bahkan ratusan kilometer dari pasangan dalam waktu yang tidak sebentar, berbekal kepercayaan dan keyakinan, sudah pernah saya lakoni. Dan bahkan sampai saat ini pun, masih tetap saya lakukan. Saya harus kembali menjadi pejuang LDR karena suami berada di Malang untuk bekerja, sedangkan saya harus berada di rumah Bangkalan, untuk menanti kelahiran buah hati kami. Namun, seakan menjalani LDR saat hamil besar ini belum cukup, Tuhan kembali menguji kesabaran, bukan hanya saya tapi juga suami dan semua keluarga besar.

Selasa, 13 November 2018 harusnya menjadi hari kelahiran anak kami, menurut perkiraan dokter. Hari yang kami nantikan sejak lebih dari 9 bulan yang lalu. Hari dimana kami akan bertemu malaikat kecil yang biasanya hanya kami rasakan tendangan atau tinjuannya. Tapi sepertinya belum Tuhan ijinkan kami untuk bertemu dia. Karena sampai tulisan ini di postingpun (saya nulis ini tanggal 13 November jam 1 dini hari dan memposting beberapa jam kemudian), saya masih belum merasakan getaran-getaran cinta a.k.a kontraksi, tanda bahwa anak kami akan lahir. Saya dan suami masih harus sabar menunggu lagi.

Awalnya, hal ini membuat saya cukup terpukul, kepikiran, galau atau ntah apapun namanya. Sejujurnya, saya belum mempersiapkan diri untuk menjalani kehamilan lewat HPL. Awalnya saya kira, semua bayi pada umumnya akan dilahirkan pas HPL atau bahkan sebelum HPL. Namun ternyata saya kebagian jatah melahirkan, insyaAllah, lewat HPL. Kenyataan ini cukup menggoyahkan hati. Pikiran-pikiran buruk tentang resiko bayi yang tak kunjung lahir, memenuhi otak saya. Masalah air ketuban, placenta, lilitan dan lain-lain. Apalagi banyak orang sekitar (terutama emak-emak) yang selalu bertanya "kok belum lahir-lahir?,  kapan perkiraan dokter?", "kurang olahraganya itu, jalan kaki lah yang jauh", "padahal yang hamilnya barengan sama kamu udah lahiran tuh, kok kamu belum?", "makanya minum anu biar cepet lahiran". Percayalah buibu, kalau diurutin nih, orang yang ingin sekali cepat lahiran, orang yang ingin sekali bertemu bayi ini, adalah saya. Secara, saya yang bawa bayi ini kemana-mana, saya yang berbagi makanan dengan dia selama 10 bulan terakhir, saya yang merasakan hampir semua gerakannya (duh kan saya baper jadinya).Hampir semua upaya, yang katanya bisa mempercepat datangnya kontraksi, sudah saya lakukan, seperti rajin berjalan kaki, naik turun tangga, jongkok-berdiri, bersujud, HB, ngobrol dengan bayi yang sering bikin saya baper bahkan beberapa waktu terakhir ini saya rutin zumba 5 lagu nonstop. Tapi sekali lagi, bukan saya yang punya kuasa untuk membuat anak ini segera dilahirkan. Setelah semua usaha yang sudah dan akan terus saya lakoni sampai anak ini lahir, serta doa yang tidak pernah putus, saya lanjutkan dengan tawakkal. Biarlah Tuhan yang menentukan kapan anak kami siap untuk dilahirkan. Semoga bisa segera. FYI, ternyata pertanyaan "kok anaknya gak lahir-lahir?" memiliki efek yang sama bahkan lebih dahsyat dari pertanyaan "kok gak nikah-nikah?", sama-sama menyakitkan. Saya sama-sama bingung harus menjawab apa, karena jodoh dan kelahiran serta kematian, bukan lagi ranah manusia. Efek dahsyatnya adalah membuat bumil yang harusnya rilex, menjadi agak kepikiran, sering baper, menjadi lebih sensitif, merasa bersalah, dan merasa tidak becus menjadi seorang ibu. Padahal sangat penting menjaga good-mood nya bumil, agar tidak memberi pengaruh buruk pada janin. Saya mulai sering membaca artikel-artikel tentang kehamilan lewat HPL, banyak bertanya kepada teman-teman yang sudah pernah melahirkan. Serta masuk forum ibu-ibu hamil dan menemukan fakta bahwa saya tidak sendiri. Ada banyak wanita diluaran sana yang juga mengalami apa yang saat ini saya alami, kehamilan lewat bulan dan stres berkepanjangan. Ada perasaan lega yang tidak bisa digambarkan, saat mengetahui hal tersebut, karena saya pikir, hanya saya saja yang terlalu berlebihan. Yang perlu dilakukan hanya terus berusaha, berdoa dan menyerahkan hasilnya pada Tuhan, begitu kira-kira yang saya tangkap dari obrolan ibu-ibu di forum tersebut.

Yang perlu saya lakukan sekarang adalah selalu mengontrol kesehatan bayi ini, baik posisi letak placenta serta kecukupan air ketubannya. Selain itu saya juga terus melanjutkan olahraga ringan yang katanya bisa mempercepat kontraksi. Saya juga harus menambah porsi sabar. Cukup percaya saja bahwa apapun yang Tuhan berikan, pasti yang terbaik. Dan semua pasti akan terjadi dan indah pada waktunya.

"Nak, ibuk dan ayah akan menunggu kapanpun kamu siap untuk dilahirkan, tapi jangan terlalu lama ya. Biar kita bisa segera ketemu. I can't wait to hug, kiss and unyel-unyel you in real life, ILU ❤"


Comments

Popular posts from this blog

[Resensi] Jemima J (Jane Green) : Langsing bukan segala-galanya.

Setiap wanita itu cantik, terlepas dari ukuran baju, berat badan, tinggi badan, warna kulit dan sebagainya. Hanya saja terkadang lingkungan yang memasang kriteria khusus untuk dipanggil cantik, seperti harus langsing, mulus, rambut panjang dan lurus. Sehingga banyak wanita berlomba untuk menjadi langsing demi bisa masuk ke dalam kotak yang dilabeli "CANTIK" oleh sekitarnya. Maka akan ada wanita-wanita yang menjadi minder, tidak percaya diri karena tubuh mereka lebih berisi. Salah satunya adalah JJ alias Jemima Jones, yang ada dalam novel chicklit karangan Jane Green. Jemima Jones adalah wanita berumur 27 tahun yang bekerja sebagai jurnalis di Kilburn Herald, salah satu koran lokal di Inggris. Jemima Jones atau yang selanjutnya akan kita panggil JJ memiliki berat badan sekitar 120 kg. Hal ini yang membuatnya hampir setiap hari selalu bertekad untuk diet namun selalu kalah oleh sebatang cokelat atau sebungkus sandwich bacon favoritnya. JJ selalu berkhayal memiliki ba...

[Resensi] Jendela-Jendela (Fira Basuki): Aku, Kamu dan Jendela

Menjalani kehidupan rumah tangga memang tidak selalu mudah dan indah seperti di dongeng-dongeng. Ada kalanya kita merasa sangat bahagia, ada pula saat dimana kita merasa lelah dan tidak berdaya menghadapi persoalan hidup yang tak kunjung usai. Namun kita harus terus berusaha, berdoa kepada Tuhan agar semua masalah dapt terselesaikan dengan baik. Mungkin hal ini yang ingin diungkapkan Fira Basuki dalam bukunya yang berjudul "Jendela-Jendela". Buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2001 ini memiliki 154 halaman. Ini juga adalah buku pertama yang akan saya resensi. Deg-deg an sih. Karena basically saya bukan orang sastra ataupun paham tentang hal-hal seperti ini. Namun saya ingin memberikan resensi dari sudut pandang saya sebagai orang awam yang (berusaha) suka dan rajin membaca. Biar agak pinter dikit hihi. Oke let's start. June Larasati Subagio adalah wanita Indonesia yang menikah dengan lelaki Tibet bernama Jigme Tshering di tahun 1997 . Jigme adalah lelaki ya...

Jealous

Katanya cemburu itu tanda cinta, tanda sayang tapi kadang cemburu juga bisa bikin orang yang kita cintai merasa tertekan, terkekang dan tidak nyaman. Dulu saya adalah wanita pencemburu, sangat pencemburu, sampai sekarang sih sebenarnya tapi sekarang saya sudah mulai bisa mengontrolnya dengan baik. Sebelum menikah dengan suami, kami menjalani hubungan jarak jauh yang membuat kami jarang sekali bertemu. Paling cepat mungkin sebulan sekali. Hal ini memaksa saya untuk belajar mengontrol cemburu. Saya sering sekali overthinking. Entahlah wanita lain mengalami juga atau tidak tapi rasanya sangat tidak nyaman, tidak tenang dan khawatir saat tahu suami berinteraksi dengan wanita lain. Padahal kan itu wajar. Walaupun berpacaran atau sudah menikah kan kita tidak lantas memutus hubungan dengan semua lawan jenis. Semua hal ini saya pendam sendiri yang akhirnya membuat saya galau, sedih, muring-muring ndak jelas, selalu marah-marah hingga membuat orang disekitar juga ikutan emosi. Lalu ...