Skip to main content

Seikat Kangkung

Sejujurnya, sangat sulit untuk memulai tulisan ini. Bukan kangkung yang membuat otak saya ngadat, tapi cerita dan sosok yang akan selalu saya ingat setiap saya melihat seikat kangkung yang membuat hati saya tiba-tiba jadi melow. Saya harus menyendiri dan merenung lama sekali karena bingung bagian mana yang harus saya tulis terlebih dahulu.

Saya mengenal beliau sudah sejak lama sekali, sejak saya dilahirkan. Beliau adalah orang yang mengumandangkan adzan di telinga saya saat saya menangis di dunia untuk pertama kalinya. Beliau adalah ayah saya. Ayah adalah orang yang berwatak keras dan tegas, cenderung keras kepala, seperti watak orang madura pada umumnya. Beliau pemegang kendali utama dalam keluarga saya. Ayah lahir dari keluarga sederhana dengan 4 saudara kandung. Sejak ayah berumur 2 tahun, kakek meninggal karena sakit, sehingga hanya tersisa nenek yang harus membesarkan 5 anak dengan berjualan es cendol. Keadaan ekonomi yang seperti inilah yang membuat ayah berusaha keras untuk mandiri. Memang di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, tapi melihat ayah dengan latar belakang keluarga seperti itu bisa menyelesaikan pendidikan hingga sarjana muda dan diterima bekerja sebagai pegawai negeri, saya tetap merasa takjub dan kagum. Perjuangan yang tidak gampang inilah yang membuat ayah keras terhadap anak-anaknya serta sangat menomorsatukan pendidikan. Selain bekerja pada pemerintah, ayah juga dikenal sebagai musisi. Beliau mahir memainkan alat musik keyboard, gitar dan bass. Percaya atau tidak, bakat musik yang beliau miliki didapat secara otodidak. Saya selalu terenyuh saat mengingat cerita bagaimana beliau belajar bermain keyboard dengan menggambarnya diatas tanah dan memainkannya seolah-olah itu adalah alat musik sebenarnya. Berlatih dengan cara demikian membuat insting bermusik ayah menjadi sangat kuat, sehingga kesalahan satu nada saja dapat beliau deteksi saat orang lain bermain musik

Ayah menikah dengan mama tahun 1990, setahun kemudian saya lahir. Dua tahun kemudian, di tahun 1993, adek laki-laki saya lahir. Ayah sangat menyukai bayi dan anak kecil. Saya mempunyai kenangan masa kecil yang indah. Sering diajak jalan-jalan tiap sore hari dan makan bebek Jenteh di depan rumah sakit hampir setiap malam minggu. Ketika saya menginjak bangku sekolah dasar, ayah mulai menerapkan banyak sekali aturan yang berlaku bahkan sampai sekarang. Harus begini, tidak boleh begitu. Tidak boleh menonton tv setelah adzan magrib dan harus belajar hingga menjelang jam tidur adalah salah satu aturan yang harus saya laksanakan. Hal itu sempat membuat saya kesal dan merasa terkekang. Banyak hal yang bisa teman-teman saya bebas lakukan, sedangkan saya tidak bisa karena tidak pernah mendapatkan ijin dari ayah. Saat saya duduk di bangku SMP, teman-teman memakai hp canggih, sedangkan saya harus berpuas diri memakai hp layar biru bernada dering monophonic. Itupun saya beli dengan tabungan saya sendiri seharga 300 ribu. Saya harus berpuasa, tidak menyentuh uang jajan saya demi membeli hp tersebut. Namun hal itu membuat saya merasa bangga dan puas memiliki barang yang dibeli dengan uang sendiri (walaupun uang yang ditabung juga dari orang tua hahaha).

Setelah saya menyelesaikan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana pendidikan, saya merasa sudah memiliki ilmu yang cukup. Namun tidak demikian menurut ayah. Beliau sedikit memaksa saya untuk melanjutkan kuliah saya ke jenjang S2. Saya yang pada saat itu masih dalam masa bahagia setelah lepas dari cengkraman skripsi, tentu saja menolak ide tersebut. Namun karena ayah terus memaksa, saya akhirnya menurut. Saya berencana akan melanjutkan kuliah di kota Malang, namun lagi-lagi bapak presiden rumah tangga a.k.a ayah tidak mengijinkan karena itu terlalu jauh dari rumah dan meminta saya melanjutkan kuliah di surabaya saja. FYI, saya memang jarang sekali diijinkan bepergian keluar kota lebih dari sehari. Kecuali untuk KKN atau study tour.

Ayah selalu berkata bahwa mau jadi apapun saya nantinya, saya harus memiliki pendidikan yang tinggi, karena hanya itu yang dapat beliau berikan untuk masa depan saya, untuk bekal saya mencari pekerjaan (karena kalau mau jadi ASN, bukan ilmunya yang harus tinggi tapi juga saldo di rekeningnya, dan ayah kurang suka cara seperti itu). 

Awalnya saya kesal, marah dan bahkan mencap ayah adalah orang yang tidak memikirkan perasaan orang lain dan suka memaksakan kehendak, namun belakangan saya sadari bahwa semua aturan dan larangan yang beliau berikan adalah untuk kebaikan saya. Saya dilarang bepergian keluar kota tanpa pengawasan karena beliau khawatir terhadap saya yang pecicilan dan belum dewasa. Beliau mengharuskan saya menabung saat saya ingin sesuatu karena beliau ingin saya tahu bahwa mencari uang itu tidak gampang jadi saya bisa lebih menghargai dan tidak menghambur-hamburkan uang. Beliau memaksa saya kuliah lagi agar wawasan saya lebih luas, pikiran saya lebih terbuka dan lingkungan saya berubah, tidak disitu-situ saja. Ayah melakukan semuanya hanya untuk mempersiapkan saya menghadapi masa depan.

Lalu apa hubungan cerita panjang saya di atas dengan seikat kangkung?. Saat ini ayah memelihara banyak sekali burung lovebird dan gagang kangkung adalalah salah satu makanannya. Setiap dua hari sekali ayah akan meminta saya pergi ke pasar untuk membeli kangkung serta memotong-motong gagangnya untuk diberikan kepada burung. Lama kelamaan hal ini menjadi kebiasaan rutin. Hingga suatu hari, saat memotong kangkung saya sadar, jika kelak saya menikah dan harus tinggal bersama suami, berpisah dari ayah, saya akan sangat merindukan rutinitas potong-memotong kangkung yang selama ini saya jalani. Saya akan merindukan omelan ayah ketika saya lupa membeli kangkung. Saya akan sangat merindukan ayah setiap saya melihat seikat kangkung. Banyak hal yang bisa membuat saya mengingat dan merindukan ayah, namun kangkung selalu mematik rasa sayang dan rindu itu walaupun ayah ada di depan mata.

Me & my first love
Percayalah, sangat tidak mudah menuangkan ini semua dalam tulisan karena saya harus memeras otak, mencabik-cabik hati serta mengelap air mata saya dalam setiap kalimat yang saya tulis tentang ayah. Yah, one day I'll find my prince, but you're always be my king, you're always be my first love. Yah, terimakasih telah memberikan segalanya untuk membuat anak-anak bahagia. Satu hal yang akan selalu saya banggakan dan saya syukuri: saya adalah anak ayah.

Comments

Popular posts from this blog

[Resensi] Jemima J (Jane Green) : Langsing bukan segala-galanya.

Setiap wanita itu cantik, terlepas dari ukuran baju, berat badan, tinggi badan, warna kulit dan sebagainya. Hanya saja terkadang lingkungan yang memasang kriteria khusus untuk dipanggil cantik, seperti harus langsing, mulus, rambut panjang dan lurus. Sehingga banyak wanita berlomba untuk menjadi langsing demi bisa masuk ke dalam kotak yang dilabeli "CANTIK" oleh sekitarnya. Maka akan ada wanita-wanita yang menjadi minder, tidak percaya diri karena tubuh mereka lebih berisi. Salah satunya adalah JJ alias Jemima Jones, yang ada dalam novel chicklit karangan Jane Green. Jemima Jones adalah wanita berumur 27 tahun yang bekerja sebagai jurnalis di Kilburn Herald, salah satu koran lokal di Inggris. Jemima Jones atau yang selanjutnya akan kita panggil JJ memiliki berat badan sekitar 120 kg. Hal ini yang membuatnya hampir setiap hari selalu bertekad untuk diet namun selalu kalah oleh sebatang cokelat atau sebungkus sandwich bacon favoritnya. JJ selalu berkhayal memiliki ba...

[Resensi] Jendela-Jendela (Fira Basuki): Aku, Kamu dan Jendela

Menjalani kehidupan rumah tangga memang tidak selalu mudah dan indah seperti di dongeng-dongeng. Ada kalanya kita merasa sangat bahagia, ada pula saat dimana kita merasa lelah dan tidak berdaya menghadapi persoalan hidup yang tak kunjung usai. Namun kita harus terus berusaha, berdoa kepada Tuhan agar semua masalah dapt terselesaikan dengan baik. Mungkin hal ini yang ingin diungkapkan Fira Basuki dalam bukunya yang berjudul "Jendela-Jendela". Buku yang pertama kali diterbitkan tahun 2001 ini memiliki 154 halaman. Ini juga adalah buku pertama yang akan saya resensi. Deg-deg an sih. Karena basically saya bukan orang sastra ataupun paham tentang hal-hal seperti ini. Namun saya ingin memberikan resensi dari sudut pandang saya sebagai orang awam yang (berusaha) suka dan rajin membaca. Biar agak pinter dikit hihi. Oke let's start. June Larasati Subagio adalah wanita Indonesia yang menikah dengan lelaki Tibet bernama Jigme Tshering di tahun 1997 . Jigme adalah lelaki ya...

Jealous

Katanya cemburu itu tanda cinta, tanda sayang tapi kadang cemburu juga bisa bikin orang yang kita cintai merasa tertekan, terkekang dan tidak nyaman. Dulu saya adalah wanita pencemburu, sangat pencemburu, sampai sekarang sih sebenarnya tapi sekarang saya sudah mulai bisa mengontrolnya dengan baik. Sebelum menikah dengan suami, kami menjalani hubungan jarak jauh yang membuat kami jarang sekali bertemu. Paling cepat mungkin sebulan sekali. Hal ini memaksa saya untuk belajar mengontrol cemburu. Saya sering sekali overthinking. Entahlah wanita lain mengalami juga atau tidak tapi rasanya sangat tidak nyaman, tidak tenang dan khawatir saat tahu suami berinteraksi dengan wanita lain. Padahal kan itu wajar. Walaupun berpacaran atau sudah menikah kan kita tidak lantas memutus hubungan dengan semua lawan jenis. Semua hal ini saya pendam sendiri yang akhirnya membuat saya galau, sedih, muring-muring ndak jelas, selalu marah-marah hingga membuat orang disekitar juga ikutan emosi. Lalu ...